Senin, 21 Mei 2012

Kepuasaan Kerja


A.DEFENISI KEPUASAAN KERJA
Menurut beberapa Para Ahli mengenai defenisi dari Kepuasaan Kerja:
·           Cascio (2003) mendefenisikan kepuasan kerja merupakan suatu perasaan yang menyenangkan, yang timbul sebagai akibat dari persepsi karyawan, bahwa dengan menyelesaikan tugas atau dengan berusaha untuk menyelesaikan pekerjaan memiliki nilai yang penting dalam pekerjaan tersebut.
·           Cranny dkk (1992) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai reaksi afektif (emosional) terhadap pekerjaan yang dihasilkan dari perbandingan yang dilakukan karyawan antara hasil atau imbalan aktual yang diterima dengan apa yang diinginkan atau diharapkan karyawan.
·           Gibson, dkk (1996) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai seperangkat perasaan karyawan tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka. Kepuasan kerja juga merupakan perasaan senang atau tidak senang yang relatif berbeda dari pemikiran objektif dan keinginan perilaku.
·           Weiss dkk (1967) mengemukakan secara lengkap aspek yang berhubungan dengan kepuasan kerja seseorang, antara lain aktivitas, kemandirian, variasi, nilai-nilai moral, pelayanan sosial, pemanfaatan kemampuan, kemahiran, tanggung jawab, kreativitas, pengakuan, prestasi, status sosial, hubungan dengan atasan, kemampuan teknik atasan, keamanan, otoritas, kebijaksanaan perusahaan, kompensasi, kondisi kerja, dan rekan kerja (dalam Berry, 1998).
·           Robbins (1998) mengemukakan kepuasan kerja sebagai sikap secara umum dan tingkat perasaan positif seseorang terhadap pekerjaannya, sedangkan Greenberg dan Baron (2000) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sikap positif atau negatif yang dimiliki seseorang terhadap pekerjaannya.
·           Menurut Spector (1997) kepuasan kerja merupakan sikap yang merefleksikan bagaimana perasaan seseorang terhadap pekerjaannya secara keseluruhan maupun terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya. Ini berarti kepuasan kerja adalah seberapa jauh seseorang menyukai atau tidak menyukai pekerjaannya dan berkaitan dengan berbagai aspek dalam pekerjaan seperti rekan kerja, gaji, karakteristik pekerjaan, maupun atasan.

Berdasarkan definisi-definisi kepusan kerja yang dikemukakan di atas oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa Kepuasan kerja merupakan keadaan internal karyawan mengenai rasa suka (sikap positif) atau tidak suka (sikap negatif) pada sebagian atau seluruh aspek pekerjaan. Aspek pekerjaan tersebut antara lain adalah aktivitas, kemandirian, variasi, nilai-nilai moral, pelayanan sosial, pemanfaatan kemampuan, kemahiran, tanggung jawab, kreativitas, pengakuan, prestasi, status sosial, hubungan dengan atasan, kemampuan teknik  atasan, keamanan, otoritas, kebijaksanaan perusahaan, kompensasi, kondisi kerja, dan rekan kerja.
B.TEORI-TEORI TENTANG KEPUASAAN KERJA
Secara umum terdapat empat teori utama yang menjadikan kepuasan kerja sebagai fokus utamanya, antara lain adalah :
a. Teori Dua Faktor Herzberg (Herzberg Two Factor Theory).
Teori pertama tentang kepuasan kerja adalah teori dua faktor dari Herzberg. Teori dua faktor ini sangat menarik perhatian banyak orang sejak pertama kali dipresentasikan. Saat ini teori ini merupakan model yang banyak diterima dalam mempelajari kepuasan kerja. Herzberg menjadikan hirarki kebutuhan Maslow sebagai dasar untuk mengembangkan teorinya. Herzberg menemukan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan dan ketidakpuasan kerja berbeda.
Herzberg (dalam Kreitner dan Kinicki, 1992) mengemukakan teori kebutuhan yang disebutnya sebagai Teori Dua Faktor. Diyakini bahwa faktor yang berhubungan dengan kerja dapat dibagi dua yaitu motivator dan higiene. Faktor higiene merupakan semua elemen kerja yang berhubungan dengan job context atau sebagai konsekuensi dari kerja itu sendiri. Dicontohkan sebagai faktor higiene adalah penghasilan, rekan kerja, kondisi kerja, kebijaksanaan dan administrasi perusahaan, dan pengawasan. Motivator merupakan elemen yang berhubungan dengan job content atau tugas dan kewajiban dari pekerjaan yang dilakukan. Tanggung jawab, rangsangan atau stimulus kerja, pertumbuhan, pengakuan, kemajuan, dan prestasi kerja adalah sebagai motivator.
Faktor higiene tidak mencukupi maka akan timbul ketidakpuasan, namun jika semua faktor higiene mencukupi maka kepuasan hanya pada tingkat netral. Demikian pula bila motivator terpenuhi maka akan mendorong kepuasan kerja lebih tinggi, namun bila motivator tidak terpenuhi kepuasannya pada tingkat netral.
b. Teori Faset (Facet Theory).
Teori faset dari Lawler tahun 1973 (dalam Berry 1998) memperluas teori sebelumnya ke dalam perspektif yang lebih kompleks mengenai kepuasan kerja. Model faset meramalkan kepuasan kerja dengan faset-faset pekerjaan yang berbeda. Lawler dalam analisisnya menggunakan hipotesis kesenjangan dan teori keadilan. Menurut Lawler tingkatan kepuasan terhadap faset kerja ditentukan oleh perbandingan antara pengharapan dari yang seharusnya diterima dari faset-faset pekerjaan dan persepsi dari apa yang telah diterima.
Kepuasan dihasilkan ketika jumlah yang diterima sama dengan yang diharapkan. Ketidakpuasan dihasilkan ketika individu mendapatkan kurang dari apa yang diharapkan. Lawler menjelaskan bahwa ukuran kesenjangan ini akan menentukan jumlah ketidakpuasan. Ketidakpuasan kerja terjadi ketika individu menerima 1) input individu terlalu tinggi terhadap pekerjaannya, 2) pekerjaan menjadi tuntutan, 3) tingkatan hasil yang diterima rendah, 4) rekan-rekan sekerja memiliki input dan output yang lebih seimbang, 5) rekan sekerja memiliki hasil aktual yang lebih baik. Pada kesenjangan yang positif, yaitu ketika yang diterima lebih dari yang seharusnya atau kompensasi yang berlebihan (overcompensation), menurut Lawler individu akan merasa bersalah dan tidak nyaman, pada akhirnya menghasilkan ketidakpuasan.
c. Teori Proses Informasi Sosial (The Social Information Process Theory).
Teori proses informasi sosial diajukan pertama kali oleh Salancik dan Pfeffer tahun 1977. Pandangan ini berpendapat bahwa kepuasan mirip atau sebanding dengan sikap (attitute) tidak terkait pada fungsi dalam segi-segi objektif dari lingkungan kerja, tetapi berkembang sebagai sebuah respon terhadap isyarat-isyarat sosial yang terdapat di dalam lingkungan kerja (dalam Cooper, 1986).
Para psikolog sosial menunjukkan bahwa sikap terjadi dalam kontek sosial dan telah tergambar dalam kelompok. Salancik dan Pfeffer (1977) berpendapat bahwa pengaruh sosial merupakan determinan penting pada kepuasan kerja. Kedua tokoh ini menyatakan bahwa orang tidak dapat membuat bermacam-macam perbandingan untuk semua aspek perbedaan dalam pekerjaan, seperti yang telah diajukan oleh para penganut teori ketidaksesuaian (discrepancy theory).
Sebaliknya, mereka mengambil suatu pemikiran pintas. Orang melihat secara sederhana bagaimana pekerjaan-pekerjaan bentuk lain dapat dirasakan. Persepsi tentang pekerjaan yang orang lain lakukan akan mempengaruhi persepsi kita sendiri. Kita menyukai pekerjaan karena kita melihat orang lain menyukai pekerjaan itu. Yaitu ketika seseorang kelihatan menyukai pekerjaannya, kemudian kita ikut menyukainya juga (dalam Berry, 1998).
d. Teori Proses Berlawanan dari Landy (Landy’s Opponent Process Theory).
 Landy tahun 1977 mengajukan suatu teori proses berlawanan atau Opponent Process Theory. Teori ini menyatakan bahwa penyimpangan atau deviasi perilaku dari kenetralan (hedonic neutrality) berjalan bersama dengan suatu usaha-usaha meniadakan deviasi tersebut. Usaha untuk mengembalikan kedudukan netral ini disebut sebagai keadaan proses berlawanan atau opponent process. Contohnya, deviasi awal ditimbulkan dari stimulus seperti kegembiraan. Proses yang berlawanan akan muncul yang bersifat menahan diri. Proses saling berlawanan dan berpasangan tersebut dapat diperkirakan muncul sebagai pasangan satu sama lain (Cooper, 1986).
Landy meneliti bahwa kepuasan terhadap pekerjaan dapat berubah sesuai waktu, walaupun pekerjaan itu sendiri tidak pernah berubah. Kebanyakan dari kita memiliki pengalaman ketika tidak lagi suka mengerjakan sesuatu walaupun dahulunya menyukainya. Tetapi kelamaan ketika individu tidak diijinkan lagi mengerjakan, ia merasa kehilangan. Contoh, pada awalnya seseorang menikmat masuk sekolah. Kemudian hal itu menjadi kebiasaan dan membosankan. Ketika mendekati masa kelulusan, bagaimanapun ia berharap bahwa masa sekolah tidak akan berakhir. Menurut Landy dengan teorinya, hal ini terjadi akibat adanya mekanisme internal bagi pengaturan tingkat emosi yang netral. Itu karena kita berusaha mempermaikan emosi kita naik turun (dalam Berry, 1998).
Penjelasan tentang ini, Landy menggunakan konsep keseimbangan yang tergambar pada neurophysiology (fisiologi saraf) dan dari teori proses berlawanan dari perilaku psikologikal (Solomon dan Corbit, 1973). Proses penyeimbangan ini berkebalikan jika mendapat tindakan lain. Contohnya adalah ketika temperatur sekitar turun dengan tiba-tiba, tubuh berkeringat (menurunkan temperatur internal) dan mulai menggigil (meningkatkan suhu tubuh). Menurut Solomon dan Corbit (1973) bahwa proses berkebalikan kadangkala tetap dan tidak dapat diubah sampai suatu tingkat keseimbangan terlampaui, sehingga terdapat sebuah titik dimana tubuh secara temporer kehilangan keseimbangan kedalam arah yang berlawanan sebelum ia kembali kepada sebuah keseimbangan (dalam Berry, 1998).
Landy mengatakan bahwa kepuasan kerja sebagai suatu pernyataan emosional subjek untuk suatu keterlibatan secara fisik. Keseimbangan emosi adalah suatu sikap netral yang dipengaruhi oleh sebuah proses berkebalikan sebagai serangan balik atas respon emosional terhadap sebuah pekerjaan. Ia mengajukan pendapat bahwa kedua operasi berkebalikan yang berbeda dapat terjadi ketika 1) adanya respon emosi yang tiba-tiba, dan 2) sebagai reaksi kemudian atas berbagai respon emosional terhadap pekerjaan yang terjadi.
Dari beberapa teori kepuasan kerja yang telah dibahas, dapat disimpulkan kepuasan kerja dihasilkan dari interaksi antara karyawan dan lingkungan kerja. Interaksi ini bisa berupa sikap yang berkembang terhadap fungsi objektif dari pekerjaan ataupun sikap terhadap isyarat- isyarat sosial yang terdapat di dalam lingkungan kerja. Sikap terhadap fungsi objektif dari pekerjaan ditunjukan oleh kesesuaian tuntutan perusahaan dan harapan atau kebutuhan karyawan, sedangkan sikap terhadap isyarat sosial yang terdapat dilingkungan kerja merupakan persepsi dan respon emosional terhadap suatu pekerjaan.

C.DIMENSI-DIMENSI KEPUASAAN KERJA
Luthans (1992) membagi dimensi-dimensi pekerjaan yang berhubungan dengan kepuasan kerja yaitu imbalan, pekerjaan itu sendiri, promosi, supervisi, kelompok kerja dan kondisi kerja.
Gilmer (1984) menyatakan bahwa ada sepuluh dimensi yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja yakni keamanan, kesempatan untuk maju, perusahaan dan manajemen, gaji, aspek intrinsik dari pekerjaan, supervisi, aspek sosial dari pekerjaan, komunikasi, kondisi kerja, dan benefit.
Locke dalam Dunnette (1983) membagi tujuh dimensi kerja yang merupakan pengembangan Locke sebelumnya dan mempunyai kontribusi terhadap kepuasan kerja, yaitu:
a. Pekerjaan, termasuk minat intrinsik, variasi tugas, kesempatan belajar, kesulitan kerja, jumlah kerja, kesempatan untuk berhasil, kontrol terhadap langkah-langkah pekerjaan dan metode pekerjaan.
b. Pembayaran, termasuk jumlah pembayaran, keadilan pembayaran, serta cara pembayarannya.
c. Promosi termasuk keadilan mendapatkan promosi dan kesempatan mendapat promosi.
d. Pengakuan termasuk penghargaan terhadap prestasi, kepercayaan atas tugas yang diberikan serta kritik atas tugas yang dikerjakan.
e. Benefit termasuk memperoleh pensiun, mendapat kesehatan, adanya cuti tahunan dan adanya pembayaran pada saat liburan.
f. Kondisi kerja termasuk jam kerja, jam istirahat, peralatan kerja, temperatur di tempat kerja, ventilasi, kelembaban, lokasi serta tata ruang kerja.
g. Supervisi termasuk gaya dan pengaruh supervisi, hubungan manusia dan keterampilan administratif.
h. Rekan kerja termasuk kompetensi, saling membantu, dan keramahan antar rekan kerja.
i. Perusahaan dan manajemen termasuk kebijakan akan perhatian terhadap pekerja baik untuk pembayaran ataupun benefit-benefit.
Sedangkan Model Theory of Work Adjustment mengukur 20 dimensi yang menjelaskan 20 kebutuhan elemen atau kondisi penguat spesifik yang penting dalam menciptakan kepuasan kerja. Dimensi-dimensi tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Ability Utilization adalah pemanfaatan kecakapan yang dimiliki oleh karyawan.
b.Achievement adalah prestasi yang dicapai selama bekerja.
c. Activity adalah segala macam bentuk aktivitas yang dilakukan dalam bekerja.
d. Advancement adalah kemajuan atau perkembangan yang dicapai selama bekerja.
e. Authority adalah wewenang yang dimiliki dalam melakukan pekerjaan.
f. Company Policies and Practices adalah kebijakan yang dilakukan adil bagi karyawan.
g. Compensation adalah segala macam bentuk kompensasi yang diberikan kepada para karyawan.
h. Co-workers adalah rekan sekerja yang terlibat langsung dalam pekerjaan.
i. Creativity adalah kreatifitas yang dapat dilakukan dalam melakukan pekerjaan.
j. Independence adalah kemandirian yang dimiliki karyawan dalam bekerja.
k. Moral values adalah nilai-nilai moral yang dimiliki karyawan dalam melakukan pekerjaannya seperti rasa bersalah atau terpaksa.
l. Recognition adalah pengakuan atas pekerjaan yang dilakukan.
m. Responsibility, tanggung jawab yang diemban dan dimiliki.
n. Security, rasa aman yang dirasakan karyawan terhadap lingkungan kerjanya.
o. Social Service adalah perasaan sosial karyawan terhadap lingkungan kerjanya.
p. Social Status adalah derajat sosial dan harga diri yang dirasakan akibat dari pekerjaan.
q. Supervision-Human Relations adalah dukungan yang diberikan oleh badan usaha terhadap pekerjanya.
r. Supervision-Technical adalah bimbingan dan bantuan teknis yang diberikan atasan kepada karyawan.
s. Variety adalah variasi yang dapat dilakukan karyawan dalam melakukan pekerjaannya.
t. Working Conditions, keadaan tempat kerja dimana karyawan melakukan pekerjaannya.

         Dari kesamaan pendapat para ahli yang telah dijelaskan diatas, terlihat ada tujuh dimensi yang sama dipergunakan para ahli tersebut dalam mengungkap dimensi kepuasan kerja yaitu pekerjaan itu sendiri, promosi, gaji, supervisi, rekan kerja, kondisi kerja, serta perusahaan dan manajemen. Penelitian ini menggunakan tujuh dimensi tersebut dalam mengungkap kepuasan kerja karyawan agar dapat diketahui faktor mana yang lebih dominan diantara tujuh dimensi tersebut.
D.PENGUKURAN KEPUASAN KERJA
Beberapa instrumen yang dapat digunakan sebagai Pengukuran kepuasan kerja secara umum menggunakan instrumen kuesioner, sering pula disebut sebagai penelitian tentang sikap terhadap kerja. Tiga instrumen kepuasan kerja yang sering dipakai antara lain The Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ), Job Description Index (JDI), dan The Job Diagnostic Survey (JDS).
Terdapat beberapa keuntungan dalam menggunakan instrumen yang telah distandarisasi, yaitu tingkat valitidas dan reliabilitas yang mencukupi karena penyusunannya melalui proses penelitian ilmiah (Berry, 1998).
a. The Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ). Kuesioner pengukuran kepuasan kerja yang pertama adalah The Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ), yang disusun oleh Weiss dkk tahun 1967. MSQ mengukur dua puluh aspek kepuasan kerja dan merupakan pengukuran yang populer. Keduapuluh aspek tersebut antara lain adalah aktivitas, kemandirian, variasi, nilai-nilai moral, pelayanan sosial, pemanfaatan kemampuan, kemahiran, tanggung jawab, kreativitas, pengakuan, prestasi, status sosial, hubungan dengan atasan, kemampuan teknik atasan, keamanan, otoritas, kebijaksanaan perusahaan, kompensasi, kondisi kerja, dan rekan kerja. Weiss, Rene V Dawis, George W England dan Llyod H Lofquist (1967) membuat bentuk pendek Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ). Form bentuk pendek mengandung 20 item dan menetapkan tentang mengukuran kepuasan kerja. MSQ menggunakan pengukuran
skala Linkert 5 poin yang bergerak dari tingkat sangat tidak memuaskan sampai dengan sangat memuaskan (dalam Berry, 1998).
b. Job Description Indek (JDI). Pengukuran lain adalah Job Description Indek (JDI) yang diperkenalkan oleh Smith, Kendal, dan Hulin pada tahun 1969. Ada lima faset dalam JDI, yaitu kepuasan terhadap pekerjaan, imbalan, promosi, atasan, dan rekan kerja. Pengukuran ini memperlihatkan validitas dalam kaitannya dengan pengukuran lain tentang kepuasan kerja dan menunjukkan reliabilitas yang baik (Schneider dan Dachler dalam Berry, 1986).
Penggunaan yang cukup luas menimbulkan norma-norma bagi kelompok-kelompok yang berbeda dalam kaitanya dengan usia, jenis kelamin, dan pendidikan responden. Subskala dikumpulkan secara bersama-sama membangun sebuah pengukuran yang menimbulkan pertanyaan tentang sebuah sikap yang terjadi pada pekerjaan, pengawasan, upah, rekan kerja, kesempatan untuk promosi dan pekerjaan tersebut secara umum. Setiap subskala dapat diberikan bobot secara terpisah sebagai sebuah komponen bobot atau juga dapat dikombinasikan untuk sebuah bobot yang menyatu. Sebuah pengkuran lain atas kepuasan secara keseluruhan, yang disebut skala pekerjaan secara umum (Job in General scale), telah dikembangkan untuk digunakan bersama-sama skala JDI. Pengukuan ini menumbuhkan sebuah pengertian tentang pengukuran secara keseluruhan (evaluasi global) tentang kepuasan kerja yang lebih baik (Ironson dkk dalam Berry, 1986).
c. The Job Diagnostic Survey (JDS). Hackmen dan Oldham (1975) menyususun The Job Diagnostic Survey (JDS) yang melihat dampak dari karakteristik pekerjaan terhadap karyawan. Pengukuran kepuasan kerja menggunakan JDS menghasilkan kepuasan kerja secara global sekaligus kepuasan kerja faset. JDS memiliki empat faset, yaitu perkembangan gaji, keamanan, sosial, dan atasan.
Alat ukur tidak terlepas dari masalah. Oleh karena itu diperlukan pertimbangan dalam penggunaan skala-skala pengukuran. Locke (dalam Berry, 1998) mengemukakan bahwa semua penelitian mengasumsikan bahwa responden memiliki kesadaran diri yang baik, namun tidak semua responden selalu menyadari perasaan mereka. Hal ini perlu diatasi dengan pemberian instruksi yang efektif dalam penyampaian, sehingga dapat dipahami oleh responden serta mampu menimbulkan kesadaran diri responden. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan landasan teori berupa dimensi kepuasan kerja sebagai kerangka dalam menyusun instrumen kepuasan kerja.
E.FAKTOR MEMPENGARUHI KEPUASAN KERJA
Menurut Baron & Byrne (1994) ada dua kelompok faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja. Faktor pertama yaitu faktor organisasi yang berisi kebijaksanaan perusahaan dan iklim kerja. Faktor kedua yaitu faktor individual atau karakteristik karyawan. Pada faktor individual ada dua predictor penting terhadap kepuasan kerja yaitu status dan senioritas. Status kerja yang rendah dan pekerjaan yang rutin akan banyak kemungkinan mendorong karyawan untuk mencari pekerjaan lain, hal itu berarti dua faktor tersebut dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja dan karyawan yang memiliki ketertarikan dan tantangan kerja akan lebih merasa puas dengan hasil kerjanya apabila mereka dapat menyelesaikan dengan maksimal. (p.45). Pendekatan Wexley dan Yukl (1977) berpendapat bahwa pekerjaan yang terbaik bagi penelitian-penelitian tentang kepuasan kerja adalah dengan memperhatikan baik faktor pekerjaan maupun faktor individunya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu gaji, kondisi kerja, mutu pengawasan, teman sekerja, jenis pekerjaan, keamanan kerja dan kesempatan untuk maju serta faktor individu yang berpengaruh adalah kebutuhan-kebutuhan yang dimilikinya,nilai-nilai yang dianut dan sifat-sifat kepribadian. (p.35).
Pendapat yang lain dikemukan oleh Ghiselli dan Brown, mengemukakan adanya lima faktor yang menimbulkan kepuasan kerja, yaitu: 
a. Kedudukan (posisi)
Umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang bekerja pada pekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas daripada karyawan yang bekerja pada pekerjaan yang lebih rendah. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut tidak selalu benar, tetapi justru perubahan dalam tingkat pekerjaanlah yang mempengaruhi kepuasan
kerja.

b. Pangkat (golongan)
Pada pekerjaan yang mendasarkan perbedaan tingkat (golongan), sehingga pekerjaan tersebut memberikan kedudukan tertentu pada orang yang melakukannya. Apabila ada kenaikan upah, maka sedikit banyaknya akan dianggap sebagai kenaikan pangkat, dan kebanggaan terhadap kedudukan yang baru itu akan merubah perilaku dan perasaannya.

c. Umur
Dinyatakan bahwa ada hubungan antara kepuasan kerja dengan umur karyawan. Umur di antara 25 tahun sampai 34 tahun dan umur 40 sampai 45 tahun adalah merupakan umur-umur yang bisa menimbulkan perasaan kurang puas terhadap pekerjaan.

d. Jaminan finansial dan jaminan sosial
Masalah finansial dan jaminan sosial kebanyakan berpengaruh terhadap kepuasan kerja.

e. Mutu pengawasan
Hubungan antara karyawan dengan pihak pimpinan sangat penting artinya dalam menaikkan produktifitas kerja. Kepuasan karyawan dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan kepada bawahan, sehingga karyawan akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang penting dari organisasi kerja (sense of belonging).
As’ad (2004, p. 112).

Sedangkan Faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja menurut Blum (1956) sebagai berikut :
a. Faktor individual, meliputi umur, kesehatan, watak dan harapan.
b. Faktor sosial, meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan.
c. Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil baik yang menyangkut pribadi maupun tugas. As’ad
(2004, p.114).

Penelitian yang dilakukan oleh Caugemi dan Claypool (1978) menemukan bahwa hal-hal yang menyebabkan ketidakpuasan adalah:
1. Kebijaksanaan perusahaan
2. Supervisor
3. Kondisi kerja
4. Gaji

Karena setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Ini disebabkan adanya perbedaan persepsi pada masing-masing individu. Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu tersebut maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakannya. Oleh karenanya sumber kepuasan seorang karyawan secara subyektif menentukan bagaimana pekerjaan yang dilakukan memuaskan. Meskipun untuk batasan kepuasan kerja ini belum ada keseragaman tetapi yang jelas dapat dikatakan bahwa tidak ada prinsip-prinsip ketetapan kepuasan kerja yang mengikat dari padanya.

F.MENINGKATKAN KEPUASAN KERJA
Ada beberapa faktor untuk meningkatkan kepuasan kerja :

1. Pekerjaan itu sendiri (Work It self), Setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan tertentu sesuai dengan bidang nya masing-masing. Sukar tidaknya suatu pekerjaan serta perasaan seseorang bahwa keahliannya dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan tersebut, akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan kerja.
Hackman and Lawyer tahun 1975 seperti yang di terjemahkan oleh Muh Shobarudin (1992), yaitu “Kepuasan kerja akan tercapai jika ada kesesuaian antara keinginan dari para pekerja dan dimensi inti pekerjaan (five core job dimensions) yang terdiri dari ragam ketrampilan, identitas pekerjaan, keberartian pekerjaan, otonomi dan umpan balik.”             Semakin besarnya keragaman aktivitas pekerjaan yang dilakukan, seseorang akan merasa pekerjaannya makin berarti, karena pekerjaan yang sama sederhana dan berulang menyebabkan karyawan menjadi bosan.

2. Atasan(Supervision),
Dari pendapat Hasley, dapat disimpulkan bahwa supervisi adalah suatu usaha untuk memimpin dengan mengarahkan orang lain sehingga dapat menjalankan tugas dengan baik, serta memberikan hasil yang maksimum.Atasan yang baik berarti mau menghargai pekerjaan bawahannya. Bagi bawahan, atasan bisa dianggap sebagai figur ayah/ibu/teman dan sekaligus atasannya.

3. Teman sekerja (Workers)atau Kondisi,
Kartono (1985) mengatakan bahwa “perasaan puas oleh bawahan akan diperoleh apabila bawahan merasa dihargai oleh atasannya, dilibatkan dalam pemecahan suatu masalah serta mempunyai kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.” Hal ini berarti pekerjaan seringkali memberikan kepuasan kebutuhan sosial, tidak hanya dalam arti persahabatan saja tetapi juga dari segi yang lain seperti kebutuhan untuk dihormati, berprestasi dan berafiliasi, karena manusia adalah mahluk sosial. Pada dasarnya seorang karyawan menginginkan adanya perhatian dari atasan maupun dari rekan kerjanya serta lingkungan kerja yang mendukungnya.

4. Promosi(Promotion),Merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh peningkatan karier selama bekerja.
Menurut Flippo (1984), ”a career can be defined a sequence of separate but related work activities that provides continuity, order and meaning in person’s life”  .Hal ini memiliki nilai karena merupakan bukti pengakuan yang lain terhadap prestasi kerja yang dicapai.
Promosi memberikan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi, lebih bertanggung jawab dan meningkatkan status sosial. Oleh karena itu individu yang merasakan adanya ketetapan promosi merupakan salah satu kepuasan dari pekerjaannya.

5. Gaji/Upah(Pay),
Merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk meningkatkan prestasi kerja, memotivasi, dan kepuasan kerja. Adapun pengertian imbalan menurut Hadi Poerwoto seperti yang ditulis oleh Heijrachman (1990) adalah, “jumlah keseluruhan pengganti jasa yang telah dilakukan oleh tenaga kerja yang meliputi gaji / upah pokok dan tunjangan sosial lainnya”. Pada beberapa studi yang telah dilakukan diketahui bahwa imbalan merupakan karakteristik pekerjaan yang menjadi ukuran ada tidaknya kepuasan kerja, dimana penyebab utamanya adalah ketidakadilan dalam pemberian imbalan tersebut. Ada 2 macam imbalan yaitu:
1.    Imbalan intrinsik, yaitu imbalan yang diperoleh karena adanya pengakuan dan penghargaan.
2.    Imbalan ekstrinsik, yaitu imbalan yang diperoleh karena adanya promosi, upah dan gaji.

1 komentar: