Selasa, 08 Mei 2012

KELUPAAN


 KELUPAAN
A.    Perspektif Historis

               Hermann Ebbinghaus (1850 - 1909) adalah seorang Jerman filsuf dan psikolog yang merintis penelitian eksperimental banyak memori. Ia terkenal untuk penemuan "kurva lupa." Ebbinghaus juga memperkenalkan teknik ilmiah mendasar untuk bidang psikologi . Menetapkan beberapa laboratorium di seluruh Eropa Tengah untuk tujuan riset psikologi dan studi, Ebbinghaus sering dikreditkan dengan kemajuan dan promosi bidang psikologis di tahun awal. Dengan demikian, warisan Ebbinghaus terus menginformasikan pemahaman kita tentang kognisi manusia, dengan implikasi untuk kemajuan pendidikan dan bidang lain dari masyarakat manusia.

               Jiwa-zaman (zeitgeist) yang di dalamnya Ebbinghaus bekerja, menekankan memori dapat dipahami dengan mempelajari ide-ide yang telah terbentuk dan kemudian melangkah mundur untuk menemukan sumber ide-ide tersebut. Ebbinghaus membalik prosedur tersebut; ia mempelajari bagaimana memori berkembang dan, dengan melakukan itu, ia mampu menetapkan kendali ilmiah atas variabel yang sebelumnya tidak dipisahkan dari memori.
   Lupa Curve
                           Studi pertama yang signifikan Ebbinghaus 'di daerah ini diterbitkan pada, Memory 1885 nya: Sebuah Kontribusi untuk Psikologi Eksperimental. Ebbinghaus belajar menghafal sendiri suku kata omong kosong, seperti "WID" dan "ZOF." Dengan berulang-ulang menguji dirinya sendiri setelah periode waktu dan berbagai hasil rekaman, ia adalah orang pertama yang menggambarkan bentuk kurva lupa. Kurva lupa menggambarkan penurunan retensi memori dari waktu ke waktu dan terkait dengan konsep kekuatan memori yang mengacu pada daya tahan bahwa memori jejak di otak. Sepanjang berbagai eksperimen, Ebbinghaus menemukan bahwa memori yang kuat adalah yang satu lagi bisa mengingat bahan tertentu.
   Ebbinghaus menemukan eksponensial sifat lupa, menggambarkan rumus lupa oleh
R = e (- t / S)
   dimana R adalah retensi memori, S adalah kekuatan relatif dari memori, dan t adalah waktu.
                           Sebuah grafik khas menunjukkan kurva lupa bahwa manusia cenderung untuk mengurangi separuh memori mereka pengetahuan yang baru dipelajari dalam hitungan hari atau minggu kecuali mereka secara sadar meninjau materi belajar. Dalam aplikasi buku sekolah khas pembelajaran pasangan kata, sebagian besar siswa menunjukkan retensi dari 90 persen setelah tiga sampai enam hari, tergantung pada materi. Dengan kata lain, selama periode ini, kurva lupa "jatuh" sebesar 10 persen.
               Ebbinghaus mengamati bahwa kecepatan melupakan tergantung pada sejumlah faktor seperti sulitnya bahan belajar, betapa berartinya materi adalah subjek, representasi bahan, dan faktor fisiologis lainnya termasuk stres dan tidur. Hasil-Nya menunjukkan kurva lupa untuk menjadi curam untuk bahan masuk akal. Kurva terbukti hampir rata untuk kenangan hidup atau traumatis. Menurut Ebbinghaus, kelandaian kurva belum tentu bukti untuk penurunan tingkat lupa, tapi bisa menjadi bukti pengulangan implisit, atau menghidupkan kembali kenangan, yang tanpa batas waktu mengembalikan jejak memori.
               Rata-rata, Ebbinghaus menemukan tingkat basal lupa untuk sedikit berbeda antara individu. Dia menjelaskan perbedaan kinerja, yang diukur di sekolah, melalui keterampilan representasi mnemonik, sedangkan beberapa orang dapat "membayangkan" kenangan dalam cara yang benar, yang lain tidak.
               Pelatihan dasar dalam teknik mnemonik telah terbukti untuk mengatasi perbedaan tersebut. Metode terbaik untuk meningkatkan kekuatan memori termasuk peningkatan representasi bahan dengan teknik mnemonik, dan peningkatan pengulangan berdasarkan recall aktif atau pengulangan berkala. Setiap pengulangan dalam pembelajaran telah terbukti dapat meningkatkan interval optimal sebelum pengulangan berikutnya diperlukan. Untuk hampir sempurna retensi, penelitian telah menunjukkan pengulangan awal mungkin perlu dibuat dalam beberapa hari, tetapi kemudian dapat dibuat setelah bertahun-tahun.
                                                                 
B.                      Pengertian Kelupaan

               Lupa merupakan istilah yang sangat populer di masyarakat. Dari hari ke hari dan bahkan setiap waktu pasti ada orang-orang tertentu yang lupa akan sesuatu, entah hal itu tentang peristiwa atau kejadian di masa lampau atau sesuatu yang akan dilakukan, mungkin juga sesuatu yang baru saja dilakukan. Fenomena dapat terjadi pada siapapun juga, tak peduli apakah orang itu anak-anak, remaja, orang tua, guru, pejabat, profesor, petani dan sebaginya. (syaiful Bahri Djamarah, 2008: 206)

               Soal mengingat dan lupa biasanya juga ditunjukkan dengan satu pengertian saja, yaitu retensi, karena memang sebenarnya kedua hal tersebut hanyalah memandang hal yang satu dan sama dari segi berlainan. Hal yang diingat adalah hal yang tidak dilupakan, dan hal yang dilupakan adalah hal yang tidak diingat. (Sumadi Suryabrata, 2006: 47)

               Lupa ialah peristiwa tidak dapat memproduksikan tanggapan-tanggapan kita, sedang ingatan kita sehat. (Agus Suyanto, 1993: 46), adapula yang mengartikan lupa sebagai suatu gejala di mana informasi yang telah disimpan tidak dapat ditemukan kembali utnuk digunakan. (Irwanto, 1991: 150).

               Muhibbinsyah (1996) dalam bukunya yang berjudul psikologi pendidikan mengartikan lupa sebagai hilangnya kemampuan untuk menyebut kembali atau memproduksi kembali apa-apa yang sebelumnya telah kita pelajari secara sederhana. Gulo (1982) dan Reber (1988) mendefinisikan lupa sebagai ketidak mampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah dialami atau dipelajari, dengan demikian lupa bukanlah peristiwa hilangnya item informasi dan pengetahuan dari akal kita.

C.                     Proses Terjadinya Lupa
               Daya ingatan kita tidak sempurna. Banyak hal-hal yangpernah diketahui, tidak dapat diingat kembali atau dilupakan. Dewasa ini ada empat cara untuk menerangkan proses lupa keempatnya tidak saling bertentangan, melainkan saling mengisi.

   1.      Delay(Pembusukan) memudarnya memori seiring berlalunya waktu atau akibat janrang digunakannya memori tersebut,Apa yang telah kita ingat, disimpan dalam bagian tertentu diotak kalau materi yang harus diingat itu tidak pernah digunakan, maka karena proses metabolisme otak, lambat laun jejak materi itu terhapus dari otak sehingga kita tidak dapat mengingatnya kembali. Jadi, karena tidak digunakan, materi itu lenyap sendiri.

   2.      Mungkin pula materi itu tidak lenyap begitu saja, melainkan mengalami perubahan-perubahan secara sistematis, mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut:
   a.    Penghalusan: materi berubah bentuk ke arah bentuk yang lebih simatris, lebih halus dan kurang tajam, sehingga bentuk yang asli tidak diingat lagi.
   b.    Penegasan: bagian-bagian yang paling mencolok dari suatu hal adalah yang paling mengesankan. Karena itu, dalam ingatan bagian-bagian ini dipertegas, sehingga yang diingat hanyalah bagian-bagian yang mencolok, sedangkan bentuk keseluruhan tidak begitu diingat.
   c.    Asimilasi: bentuk yang mirip botol misalnya, akan kita ingat sebagai botol, sekalipun bentuk itu bukan botol. Dengan demikian, kita hanya ingat sebuah botol, tetapi tidak ingat bentuk yang asli. Perubahan materi di sini disebabkan bagaimana wajah orang itu tidak kita ingat lagi.
  
   3.      Kalau mempelajari hal yang baru, kemungkinan hal-hal yang sudah kita ingat, tidak dapat kita ingat lagi. Dengan kata lain, materi kedua menghambat diingatnya kembali materi pertama. Hambatan seperti ini disebut hambatan retroaktif. Sebaliknya, mungkin pula materi yang baru kita pelajari tidak dapat masuk dalam ingatan, karena terhambat oleh adanya materi lain yang terlebih dahulu dipelajari, hambatan seperti ini disebut hambatan proaktif.
  
1.      Ada kalanya kita melakukan sesuatu. Hal ini disebut represi. Peristiwa-peristiwa mengerikan, menakutkan, penuh dosa, menjijikan dan sebagainya, atau semua hal yang tidak dapat diterima oleh hati nurani akan kita lupakan dengan sengaja (sekalipun proses lupa yang sengaja ini terkadang tidak kita sadari, terjadi diluar alam kesadaran kita). Pada bentuknya yang ekstrim, represi dapat menyebabkan amnesia, yaitu lupa nama sendiri, orang tua, anak dan istri dan semua hal yang bersangkut paut dirinya sendiri. Amnesia ini dapat itolong atau disembuhkan melalui psikoterapi atau melalui suatu peristiwa yang sangat dramatis sehingga menimbulkan kejutan kejiwaan pada penderita. (Ahmad Fauzi, 1997: 52-54)

                                                                                                       
D.                     Faktor-Faktor Penyebab Lupa
               Pertama, lupa terjadi karena gangguan konflik antara item-item informasi atau materi yang ada dalam sistem memori siswa. Dalam interfence theory (teori mengenai gangguan), gangguan konflik ini terbagi menjadi dua macam, yaitu: 1)   proactive interference, 2) retroactive interference (Reber, 1988; Best, 1989; Anderson, 1990)

               Seorang siswa akan mengalami gangguan proaktifapabila materi pelajaran yang sudah lama tersimpan dalam subsistem akal permanennya mengganggu masuknya materi pelajaran baru. Peristiwa ini terjadi apabila siswa tersebut mempelajari sebuah materi pelajaran yang sangat mirip dengan materi pelajaran yang telah dikuasainya dalam tenggang waktu yang pendek. Dalam hal ini, materi yang baru saja dipelajari akan sangat sulit diingat adatu diproduksi kembali.

               Sebaliknya, seorang siswa akan mengalami gangguan retroaktifapabila materi pelajaran baru membawa konflik dan gangguan terhadap kembali materi pelajaran lama yang telah lebih dahulu tersimpan dalam subsistem akal permanen siswa tersebut. Dalam hal ini, materi pejaran lama kan sangat sulit diingat atau diproduksi kembali. Dengan kata lain, siswa tersebut lupa akan materi pelajaran lama tersebut.

               Kedua, lupa dapat terjadi pada seorang siswa karena adanya tekanan terhadap item yang telah ada, baik sengaja ataupun tidak. Penekanan ini terjadi karena adanya kemungkinan.
a.       Karena item informasi (berupa pengetahuan, tanggapan, kesan dan sebagainya) yang diterima siswa kurang menyenangkan, sehingga ia dengan sengaja menekannya hingga ke alam ketidaksadaran.
b.      Karena item informasi yang baru secara otomatis menekan item informasi yang telah ada, jadi sama dengan fenomena retroaktif.
c.       Karena item informasi yang akan direproduksi (diingat kembali) itu tertekan ke alam bawah sadar dengan sendirinya lantaran tidak pernah digunakan.

               Itulah pendapat yang didasarkan para repression theory yakni teori represi/ penekanan (Reber, 1988). Namun, perlu ditambahkan bahwa istilah “alam ketidaksadaran” dan “alam bawah sadar” seperti tersebut di atas, merupakan gagasan Sigmund Freud, bapak psikologi analisis yang banyak mendapat tantanganm baik dari kawan maupun lawannya itu.

               Ketiga, lupa dapat terjadi pada siswa karena perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar dengan waktu mengingat kembali (Anderson, 1990). Jika seorang siswa hanya mengenal atau mempelajari hewan jerapah atau kudanil lewat gambar-gambar yang ada di sekolah misalnya, maka kemungkinan ia akan lupa menybut nama hewan-hewan tadi ketika melihatnya di kebun binatang.

               Keempat, lupa dapat terjadi karena perubahan sikap dan minat siswa terhadap proses belajar mengajar dengan tekun dan serius, tetapi karna sesuatu hal sikap dan minat siswa tersebut menjadi sebaliknya (seperti karena ketidaksenangan kepada guru) maka materi pelajaran itu akan mudah terlupakan.

               Kelima, menurut law of disuse (Hilgard & Bower 1975), lupa dapat terjadi karena materi pelajaran yang telah dikuasai tidak pernah digunakan atau dihafalkan siswa.                          Menurut asumsi sebagian ahli, materi yang diperlakukan demikian denga sendirinya akan masuk ke alam bawah sadar atau mungkin juga bercampur aduk dengan materi pelajaran baru.

               Keenam, lupa tentu saja dapat terjadi karena perubahan urat syaraf otak. Seorang siswa yang terserang penyakit tertentu seperti keracunan, kecanduan alkohol, dan geger otak akan kehilangan ingatan item-item informasi yang ada dalam memori permanennya.

               Meskipun penyebab lupa itu banyak aneka ragamnya, yang paling penting untuk diperhatikan para guru adalah faktor pertama yang meliputi gangguan proaktif dan retroaktif, karena didukung oleh hasil riset dan eksperimen. Mengenai faktor keenam, tentu saja semua orang maklum.

               Kecuali gangguan proaktif dan retroaktif, ada satu lagi penemuan baru yang menyimpulkan bahwa lupa dapat dialami seorang siswa apabila item informasi yang ia serap rusak sebelum masuk ke memori permanennya. Item yang rusak (decay) itu tidak hilang dan tetap diproses oleh sistem memori siswa tadi, tetapi terlalu lemah untuk dipanggil kembali. Kerusakan item informasi tersebut mungkin disebabkan karena tennggang waktu (delay) antara waktu diserapnya item informasi dengan saat proses pengkodean dan transformasi dalam memori jangka pendek siswa tersebut (Best, 1989; Anderson, 1990).
               Apakah materi pelajaran yang terlupakan oleh siswa benar-benar hilang dari ingatan akalnya? Menurut pandangan ahli psikologi kognitif, “tidak!” materi pelajaran itu masih terdapat dalam subsistem akal permanen siswa namun terlalu lemah untuk di panggil atau diingat kembali. Buktinya banyak siswa yang mengeluh “kehilangan ilmu”, setelah melakukan relearning (belajar lagi) atau mengikuti remedial teaching berfungsi memperbaiki atau menguatkan item-item informasi yang rusak atau lemah dalam memori para siswa tersebut, sehingga mereka berhasil mencapai prestasi yang memuaskan. (Muhibbin Syah, 1996: 160)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar