A.DEFENISI
KEPUASAAN KERJA
Menurut
beberapa Para Ahli mengenai defenisi dari Kepuasaan Kerja:
·
Cascio
(2003) mendefenisikan kepuasan kerja merupakan suatu perasaan yang
menyenangkan, yang timbul sebagai akibat dari persepsi karyawan, bahwa dengan
menyelesaikan tugas atau dengan berusaha untuk menyelesaikan pekerjaan memiliki
nilai yang penting dalam pekerjaan tersebut.
·
Cranny
dkk (1992) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai reaksi afektif (emosional)
terhadap pekerjaan yang dihasilkan dari perbandingan yang dilakukan karyawan
antara hasil atau imbalan aktual yang diterima dengan apa yang diinginkan atau
diharapkan karyawan.
·
Gibson,
dkk (1996) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai seperangkat perasaan karyawan
tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka. Kepuasan kerja juga merupakan perasaan senang atau tidak
senang yang relatif berbeda dari pemikiran objektif dan keinginan perilaku.
·
Weiss
dkk (1967) mengemukakan secara lengkap aspek yang berhubungan
dengan kepuasan kerja seseorang, antara lain aktivitas,
kemandirian, variasi, nilai-nilai moral, pelayanan sosial, pemanfaatan
kemampuan, kemahiran, tanggung jawab, kreativitas, pengakuan, prestasi, status
sosial, hubungan dengan atasan, kemampuan teknik atasan, keamanan, otoritas,
kebijaksanaan perusahaan, kompensasi, kondisi kerja, dan rekan kerja (dalam
Berry, 1998).
·
Robbins
(1998) mengemukakan kepuasan kerja sebagai sikap secara umum dan tingkat
perasaan positif seseorang terhadap pekerjaannya, sedangkan Greenberg dan Baron
(2000) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sikap positif atau negatif yang
dimiliki seseorang terhadap pekerjaannya.
·
Menurut
Spector (1997) kepuasan kerja merupakan sikap yang merefleksikan bagaimana
perasaan seseorang terhadap pekerjaannya secara keseluruhan maupun terhadap
berbagai aspek dari pekerjaannya. Ini berarti kepuasan kerja adalah seberapa
jauh seseorang menyukai atau tidak menyukai pekerjaannya dan berkaitan dengan
berbagai aspek dalam pekerjaan seperti rekan kerja, gaji, karakteristik
pekerjaan, maupun atasan.
Berdasarkan definisi-definisi kepusan kerja yang
dikemukakan di atas oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa Kepuasan kerja merupakan keadaan internal karyawan
mengenai rasa suka (sikap positif) atau tidak suka (sikap negatif) pada
sebagian atau seluruh aspek pekerjaan. Aspek
pekerjaan tersebut antara lain adalah aktivitas, kemandirian, variasi,
nilai-nilai moral, pelayanan sosial, pemanfaatan kemampuan, kemahiran, tanggung
jawab, kreativitas, pengakuan, prestasi, status sosial, hubungan dengan atasan,
kemampuan teknik atasan, keamanan,
otoritas, kebijaksanaan perusahaan, kompensasi, kondisi kerja, dan rekan kerja.
B.TEORI-TEORI
TENTANG KEPUASAAN KERJA
Secara umum terdapat empat teori utama yang menjadikan
kepuasan kerja sebagai fokus utamanya, antara lain adalah :
a. Teori
Dua Faktor Herzberg (Herzberg Two Factor Theory).
Teori pertama tentang kepuasan kerja adalah teori dua
faktor dari Herzberg. Teori dua faktor ini sangat menarik perhatian banyak
orang sejak pertama kali dipresentasikan. Saat ini teori ini merupakan model
yang banyak diterima dalam mempelajari kepuasan kerja. Herzberg menjadikan
hirarki kebutuhan Maslow sebagai dasar untuk mengembangkan teorinya. Herzberg
menemukan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan dan ketidakpuasan kerja
berbeda.
Herzberg (dalam Kreitner dan Kinicki, 1992) mengemukakan
teori kebutuhan yang disebutnya sebagai Teori Dua Faktor. Diyakini bahwa faktor
yang berhubungan dengan kerja dapat dibagi dua yaitu motivator
dan higiene. Faktor higiene merupakan semua elemen kerja yang
berhubungan dengan job context atau sebagai konsekuensi dari kerja itu
sendiri. Dicontohkan
sebagai faktor higiene adalah penghasilan, rekan kerja, kondisi kerja,
kebijaksanaan dan administrasi perusahaan, dan pengawasan. Motivator merupakan
elemen yang berhubungan dengan job content atau tugas dan kewajiban dari
pekerjaan yang dilakukan. Tanggung jawab, rangsangan atau stimulus kerja,
pertumbuhan, pengakuan, kemajuan, dan prestasi kerja adalah sebagai motivator.
Faktor higiene tidak mencukupi maka akan timbul
ketidakpuasan, namun jika semua faktor higiene mencukupi maka kepuasan
hanya pada tingkat netral. Demikian pula bila motivator terpenuhi maka
akan mendorong kepuasan kerja lebih tinggi, namun bila motivator tidak
terpenuhi kepuasannya pada tingkat netral.
b. Teori Faset (Facet
Theory).
Teori faset dari Lawler tahun 1973 (dalam Berry 1998)
memperluas teori sebelumnya ke dalam perspektif yang lebih kompleks mengenai
kepuasan kerja. Model faset meramalkan kepuasan kerja dengan faset-faset
pekerjaan yang berbeda. Lawler dalam analisisnya menggunakan hipotesis
kesenjangan dan teori keadilan. Menurut Lawler tingkatan kepuasan terhadap
faset kerja ditentukan oleh perbandingan antara pengharapan dari yang
seharusnya diterima dari faset-faset pekerjaan dan persepsi dari apa yang telah
diterima.
Kepuasan dihasilkan ketika jumlah yang diterima sama
dengan yang diharapkan. Ketidakpuasan dihasilkan ketika individu mendapatkan
kurang dari apa yang diharapkan. Lawler menjelaskan bahwa ukuran kesenjangan
ini akan menentukan jumlah ketidakpuasan. Ketidakpuasan kerja terjadi ketika
individu menerima 1) input individu terlalu tinggi terhadap pekerjaannya, 2)
pekerjaan menjadi tuntutan, 3) tingkatan hasil yang diterima rendah, 4)
rekan-rekan sekerja memiliki input dan output yang lebih seimbang, 5) rekan
sekerja memiliki hasil aktual yang lebih baik. Pada kesenjangan yang
positif, yaitu ketika yang diterima lebih dari yang seharusnya atau kompensasi
yang berlebihan (overcompensation), menurut Lawler individu akan merasa
bersalah dan tidak nyaman, pada akhirnya menghasilkan ketidakpuasan.
c. Teori Proses
Informasi Sosial (The Social Information Process Theory).
Teori proses informasi sosial diajukan pertama kali oleh
Salancik dan Pfeffer tahun 1977. Pandangan ini berpendapat bahwa kepuasan mirip
atau sebanding dengan sikap (attitute) tidak terkait pada fungsi dalam
segi-segi objektif dari lingkungan kerja, tetapi berkembang sebagai sebuah respon
terhadap isyarat-isyarat sosial yang terdapat di dalam lingkungan kerja (dalam
Cooper, 1986).
Para psikolog sosial menunjukkan bahwa sikap terjadi
dalam kontek sosial dan telah tergambar dalam kelompok. Salancik dan Pfeffer
(1977) berpendapat bahwa pengaruh sosial merupakan determinan penting pada
kepuasan kerja. Kedua tokoh ini menyatakan bahwa orang tidak dapat membuat
bermacam-macam perbandingan untuk semua aspek perbedaan dalam pekerjaan,
seperti yang telah diajukan oleh para penganut teori ketidaksesuaian (discrepancy
theory).
Sebaliknya, mereka mengambil suatu pemikiran pintas.
Orang melihat secara sederhana bagaimana pekerjaan-pekerjaan bentuk lain dapat
dirasakan. Persepsi tentang pekerjaan yang orang lain lakukan akan mempengaruhi
persepsi kita sendiri. Kita menyukai
pekerjaan karena kita melihat orang lain menyukai pekerjaan itu. Yaitu ketika
seseorang kelihatan menyukai pekerjaannya, kemudian
kita ikut menyukainya juga (dalam Berry, 1998).
d. Teori Proses
Berlawanan dari Landy (Landy’s Opponent Process Theory).
Landy tahun 1977
mengajukan suatu teori proses berlawanan atau Opponent Process Theory.
Teori ini menyatakan bahwa penyimpangan atau deviasi perilaku dari kenetralan (hedonic
neutrality) berjalan bersama dengan suatu usaha-usaha meniadakan
deviasi tersebut. Usaha untuk mengembalikan kedudukan netral ini disebut
sebagai keadaan proses berlawanan atau opponent process. Contohnya,
deviasi awal ditimbulkan dari stimulus seperti kegembiraan. Proses yang
berlawanan akan muncul yang bersifat menahan diri. Proses saling berlawanan dan
berpasangan tersebut dapat diperkirakan muncul sebagai pasangan satu sama lain
(Cooper, 1986).
Landy meneliti bahwa kepuasan terhadap pekerjaan dapat berubah
sesuai waktu, walaupun pekerjaan itu sendiri tidak pernah berubah. Kebanyakan
dari kita memiliki pengalaman ketika tidak lagi suka mengerjakan sesuatu walaupun
dahulunya menyukainya. Tetapi kelamaan ketika individu tidak diijinkan lagi
mengerjakan, ia merasa kehilangan. Contoh, pada awalnya seseorang menikmat
masuk sekolah. Kemudian hal itu menjadi kebiasaan dan membosankan. Ketika
mendekati masa kelulusan, bagaimanapun ia berharap bahwa masa sekolah tidak
akan berakhir. Menurut Landy dengan teorinya, hal ini terjadi akibat adanya
mekanisme internal bagi pengaturan tingkat emosi yang netral. Itu karena kita
berusaha mempermaikan emosi kita naik turun (dalam Berry, 1998).
Penjelasan tentang ini, Landy menggunakan konsep
keseimbangan yang tergambar pada neurophysiology (fisiologi saraf) dan dari
teori proses berlawanan dari perilaku psikologikal (Solomon dan Corbit, 1973).
Proses penyeimbangan ini berkebalikan jika mendapat tindakan lain. Contohnya
adalah ketika temperatur sekitar turun dengan tiba-tiba, tubuh berkeringat
(menurunkan temperatur internal) dan mulai menggigil (meningkatkan suhu tubuh).
Menurut Solomon dan Corbit (1973) bahwa proses berkebalikan kadangkala tetap
dan tidak dapat diubah sampai suatu tingkat keseimbangan terlampaui, sehingga terdapat
sebuah titik dimana tubuh secara temporer kehilangan keseimbangan kedalam arah
yang berlawanan sebelum ia kembali kepada sebuah keseimbangan (dalam Berry,
1998).
Landy mengatakan bahwa kepuasan kerja sebagai suatu
pernyataan emosional subjek untuk suatu keterlibatan secara fisik. Keseimbangan
emosi adalah suatu sikap netral yang dipengaruhi oleh sebuah proses
berkebalikan sebagai serangan balik atas respon emosional terhadap sebuah
pekerjaan. Ia mengajukan pendapat bahwa kedua operasi berkebalikan yang berbeda
dapat terjadi ketika 1) adanya respon emosi yang tiba-tiba, dan 2) sebagai
reaksi kemudian atas berbagai respon emosional terhadap pekerjaan yang terjadi.
Dari beberapa teori kepuasan kerja yang telah dibahas,
dapat disimpulkan kepuasan kerja dihasilkan dari interaksi antara karyawan dan
lingkungan kerja. Interaksi ini bisa berupa sikap yang berkembang terhadap
fungsi objektif dari pekerjaan ataupun sikap terhadap isyarat- isyarat sosial
yang terdapat di dalam lingkungan kerja. Sikap terhadap fungsi objektif dari
pekerjaan ditunjukan oleh kesesuaian tuntutan perusahaan dan harapan atau
kebutuhan karyawan, sedangkan sikap terhadap isyarat sosial yang terdapat dilingkungan
kerja merupakan persepsi dan respon emosional terhadap suatu pekerjaan.
C.DIMENSI-DIMENSI KEPUASAAN KERJA
Luthans (1992) membagi dimensi-dimensi pekerjaan yang
berhubungan dengan kepuasan kerja yaitu imbalan, pekerjaan itu sendiri,
promosi, supervisi, kelompok kerja dan kondisi kerja.
Gilmer (1984) menyatakan bahwa ada sepuluh dimensi yang
berpengaruh terhadap kepuasan kerja yakni keamanan, kesempatan untuk maju,
perusahaan dan manajemen, gaji, aspek intrinsik dari pekerjaan, supervisi,
aspek sosial dari pekerjaan, komunikasi, kondisi kerja, dan benefit.
Locke dalam Dunnette (1983) membagi tujuh dimensi kerja
yang merupakan pengembangan Locke sebelumnya dan mempunyai kontribusi terhadap
kepuasan kerja, yaitu:
a. Pekerjaan, termasuk minat intrinsik, variasi tugas,
kesempatan belajar, kesulitan kerja, jumlah kerja, kesempatan untuk berhasil,
kontrol terhadap langkah-langkah pekerjaan dan metode pekerjaan.
b. Pembayaran, termasuk jumlah pembayaran, keadilan
pembayaran, serta cara pembayarannya.
c. Promosi termasuk keadilan mendapatkan promosi dan
kesempatan mendapat promosi.
d. Pengakuan termasuk penghargaan terhadap prestasi,
kepercayaan atas tugas yang diberikan serta kritik atas tugas yang dikerjakan.
e. Benefit termasuk memperoleh pensiun, mendapat
kesehatan, adanya cuti tahunan dan adanya pembayaran pada saat liburan.
f. Kondisi kerja termasuk jam kerja, jam istirahat,
peralatan kerja, temperatur di tempat kerja, ventilasi, kelembaban, lokasi
serta tata ruang kerja.
g. Supervisi termasuk gaya dan pengaruh supervisi,
hubungan manusia dan keterampilan administratif.
h. Rekan kerja termasuk kompetensi, saling membantu, dan
keramahan antar rekan kerja.
i. Perusahaan dan manajemen termasuk kebijakan akan
perhatian terhadap pekerja baik untuk pembayaran ataupun benefit-benefit.
Sedangkan Model Theory of Work Adjustment
mengukur 20 dimensi yang menjelaskan 20 kebutuhan elemen atau kondisi penguat
spesifik yang penting dalam menciptakan kepuasan kerja. Dimensi-dimensi
tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Ability Utilization adalah pemanfaatan kecakapan yang dimiliki oleh
karyawan.
b.Achievement adalah prestasi yang dicapai selama bekerja.
c. Activity adalah segala macam bentuk aktivitas yang dilakukan dalam bekerja.
d. Advancement adalah kemajuan atau perkembangan yang dicapai selama bekerja.
e. Authority adalah wewenang yang dimiliki dalam melakukan pekerjaan.
f. Company Policies and Practices adalah kebijakan yang dilakukan adil bagi
karyawan.
g. Compensation adalah segala macam bentuk kompensasi yang diberikan kepada
para karyawan.
h. Co-workers adalah rekan sekerja yang terlibat langsung dalam pekerjaan.
i. Creativity adalah kreatifitas yang dapat dilakukan dalam melakukan
pekerjaan.
j. Independence adalah kemandirian yang dimiliki karyawan dalam bekerja.
k. Moral values adalah nilai-nilai moral yang dimiliki karyawan dalam melakukan
pekerjaannya seperti rasa bersalah atau terpaksa.
l. Recognition adalah pengakuan atas pekerjaan yang dilakukan.
m. Responsibility, tanggung jawab yang diemban dan dimiliki.
n. Security, rasa aman yang dirasakan karyawan terhadap lingkungan kerjanya.
o. Social Service adalah perasaan sosial karyawan terhadap lingkungan kerjanya.
p. Social Status adalah derajat sosial dan harga diri yang dirasakan akibat
dari pekerjaan.
q. Supervision-Human Relations adalah dukungan yang diberikan oleh badan usaha
terhadap pekerjanya.
r. Supervision-Technical adalah bimbingan dan bantuan teknis yang diberikan
atasan kepada karyawan.
s. Variety adalah variasi yang dapat dilakukan karyawan dalam melakukan
pekerjaannya.
t. Working Conditions, keadaan tempat kerja dimana karyawan melakukan
pekerjaannya.
Dari kesamaan pendapat para ahli yang telah dijelaskan diatas, terlihat ada
tujuh dimensi yang sama dipergunakan para ahli tersebut dalam mengungkap
dimensi kepuasan kerja yaitu pekerjaan itu sendiri, promosi, gaji, supervisi,
rekan kerja, kondisi kerja, serta perusahaan dan manajemen. Penelitian ini
menggunakan tujuh dimensi tersebut dalam mengungkap kepuasan kerja karyawan agar dapat
diketahui faktor mana yang lebih dominan diantara tujuh dimensi tersebut.
D.PENGUKURAN KEPUASAN KERJA
Beberapa
instrumen yang dapat digunakan sebagai Pengukuran kepuasan kerja secara umum menggunakan instrumen kuesioner, sering pula disebut
sebagai penelitian tentang sikap terhadap kerja. Tiga instrumen kepuasan kerja
yang sering dipakai antara lain The Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ),
Job Description Index (JDI), dan The Job Diagnostic Survey (JDS).
Terdapat beberapa keuntungan dalam menggunakan instrumen
yang telah distandarisasi, yaitu tingkat valitidas dan reliabilitas yang
mencukupi karena penyusunannya melalui proses penelitian ilmiah (Berry, 1998).
a. The
Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ). Kuesioner pengukuran
kepuasan kerja yang pertama adalah The Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ),
yang disusun oleh Weiss dkk tahun 1967. MSQ mengukur dua puluh aspek kepuasan
kerja dan merupakan pengukuran yang populer. Keduapuluh aspek tersebut antara
lain adalah aktivitas, kemandirian, variasi, nilai-nilai moral, pelayanan
sosial, pemanfaatan kemampuan, kemahiran, tanggung jawab, kreativitas,
pengakuan, prestasi, status sosial, hubungan dengan atasan, kemampuan teknik atasan,
keamanan, otoritas, kebijaksanaan perusahaan, kompensasi, kondisi kerja, dan
rekan kerja. Weiss, Rene V Dawis, George W England dan Llyod H Lofquist (1967)
membuat bentuk pendek Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ). Form
bentuk pendek mengandung 20 item dan menetapkan tentang mengukuran kepuasan kerja. MSQ
menggunakan pengukuran
skala Linkert
5 poin yang bergerak dari tingkat sangat tidak memuaskan sampai dengan sangat
memuaskan (dalam Berry, 1998).
b. Job Description Indek (JDI).
Pengukuran lain adalah Job Description Indek (JDI) yang diperkenalkan
oleh Smith, Kendal, dan Hulin pada tahun 1969. Ada lima faset dalam JDI, yaitu
kepuasan terhadap pekerjaan, imbalan, promosi, atasan, dan rekan kerja.
Pengukuran ini memperlihatkan validitas dalam kaitannya dengan pengukuran lain
tentang kepuasan kerja dan menunjukkan reliabilitas yang baik (Schneider dan Dachler dalam Berry, 1986).
Penggunaan yang cukup luas menimbulkan norma-norma bagi
kelompok-kelompok yang berbeda dalam kaitanya dengan usia, jenis kelamin, dan
pendidikan responden. Subskala dikumpulkan secara bersama-sama membangun sebuah
pengukuran yang menimbulkan pertanyaan tentang sebuah sikap yang terjadi pada
pekerjaan, pengawasan, upah, rekan kerja, kesempatan untuk promosi
dan pekerjaan tersebut secara umum. Setiap subskala dapat
diberikan bobot secara terpisah sebagai sebuah komponen bobot atau juga dapat
dikombinasikan untuk sebuah bobot yang menyatu. Sebuah pengkuran lain atas
kepuasan secara keseluruhan, yang disebut skala pekerjaan secara umum (Job
in General scale), telah dikembangkan untuk digunakan bersama-sama skala
JDI. Pengukuan ini menumbuhkan sebuah pengertian tentang pengukuran secara
keseluruhan (evaluasi global) tentang kepuasan kerja yang lebih baik (Ironson
dkk dalam Berry, 1986).
c. The Job Diagnostic Survey (JDS).
Hackmen dan Oldham (1975) menyususun The Job Diagnostic Survey (JDS)
yang melihat dampak dari karakteristik pekerjaan terhadap karyawan. Pengukuran
kepuasan kerja menggunakan JDS menghasilkan kepuasan kerja secara global
sekaligus kepuasan kerja faset. JDS memiliki empat faset, yaitu perkembangan
gaji, keamanan, sosial, dan atasan.
Alat ukur tidak terlepas dari masalah. Oleh karena itu
diperlukan pertimbangan dalam penggunaan skala-skala pengukuran. Locke (dalam
Berry, 1998) mengemukakan bahwa semua penelitian mengasumsikan bahwa responden
memiliki kesadaran diri yang baik, namun tidak semua responden selalu menyadari
perasaan mereka. Hal ini perlu diatasi dengan pemberian instruksi yang
efektif dalam penyampaian, sehingga dapat dipahami oleh
responden serta mampu menimbulkan kesadaran diri responden.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan landasan teori berupa dimensi
kepuasan kerja sebagai kerangka dalam menyusun instrumen kepuasan kerja.
E.FAKTOR
MEMPENGARUHI KEPUASAN KERJA
Menurut Baron & Byrne (1994) ada
dua kelompok faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja. Faktor pertama yaitu
faktor organisasi yang berisi kebijaksanaan perusahaan dan iklim kerja. Faktor
kedua yaitu faktor individual atau karakteristik karyawan. Pada faktor
individual ada dua predictor penting terhadap kepuasan kerja yaitu status dan
senioritas. Status kerja yang rendah dan pekerjaan yang rutin akan banyak
kemungkinan mendorong karyawan untuk mencari pekerjaan lain, hal itu berarti
dua faktor tersebut dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja dan karyawan yang
memiliki ketertarikan dan tantangan kerja akan lebih merasa puas dengan hasil
kerjanya apabila mereka dapat menyelesaikan dengan maksimal. (p.45). Pendekatan
Wexley dan Yukl (1977) berpendapat bahwa pekerjaan yang terbaik bagi
penelitian-penelitian tentang kepuasan kerja adalah dengan memperhatikan baik
faktor pekerjaan maupun faktor individunya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan
kerja yaitu gaji, kondisi kerja, mutu pengawasan, teman sekerja, jenis
pekerjaan, keamanan kerja dan kesempatan untuk maju serta faktor individu yang
berpengaruh adalah kebutuhan-kebutuhan yang dimilikinya,nilai-nilai yang dianut
dan sifat-sifat kepribadian. (p.35).
Pendapat yang lain dikemukan oleh Ghiselli dan Brown,
mengemukakan adanya lima faktor yang menimbulkan kepuasan kerja, yaitu:
a. Kedudukan
(posisi)
Umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang
bekerja pada pekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas daripada
karyawan yang bekerja pada pekerjaan yang lebih rendah. Pada beberapa
penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut tidak selalu benar, tetapi justru
perubahan dalam tingkat pekerjaanlah yang mempengaruhi kepuasan
kerja.
b. Pangkat (golongan)
Pada pekerjaan yang mendasarkan perbedaan tingkat
(golongan), sehingga pekerjaan tersebut memberikan kedudukan tertentu pada
orang yang melakukannya. Apabila ada kenaikan upah, maka sedikit banyaknya akan
dianggap sebagai kenaikan pangkat, dan kebanggaan terhadap kedudukan yang baru
itu akan merubah perilaku dan perasaannya.
c. Umur
Dinyatakan bahwa ada hubungan antara kepuasan kerja dengan umur karyawan. Umur
di antara 25 tahun sampai 34 tahun dan umur 40 sampai 45 tahun adalah merupakan
umur-umur yang bisa menimbulkan perasaan kurang puas terhadap pekerjaan.
d. Jaminan finansial dan jaminan sosial
Masalah finansial dan jaminan sosial kebanyakan berpengaruh terhadap kepuasan
kerja.
e. Mutu pengawasan
Hubungan antara karyawan dengan pihak pimpinan sangat penting artinya dalam
menaikkan produktifitas kerja. Kepuasan karyawan dapat ditingkatkan melalui
perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan kepada bawahan, sehingga
karyawan akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang penting dari
organisasi kerja (sense of belonging).
As’ad (2004, p. 112).
Sedangkan Faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja menurut Blum (1956)
sebagai berikut :
a. Faktor individual, meliputi umur, kesehatan, watak dan harapan.
b. Faktor sosial, meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat,
kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan berpolitik, dan
hubungan kemasyarakatan.
c. Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja,
kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu juga penghargaan terhadap
kecakapan, hubungan sosial di dalam pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan
konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil baik yang menyangkut pribadi
maupun tugas. As’ad
(2004, p.114).
Penelitian yang dilakukan oleh
Caugemi dan Claypool (1978) menemukan bahwa hal-hal yang menyebabkan
ketidakpuasan adalah:
1. Kebijaksanaan perusahaan
2. Supervisor
3. Kondisi kerja
4. Gaji
Karena setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai
dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Ini disebabkan adanya perbedaan
persepsi pada masing-masing individu. Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang
sesuai dengan keinginan individu tersebut maka semakin tinggi tingkat kepuasan
yang dirasakannya. Oleh karenanya sumber kepuasan seorang karyawan secara
subyektif menentukan bagaimana pekerjaan yang dilakukan memuaskan. Meskipun
untuk batasan kepuasan kerja ini belum ada keseragaman tetapi yang jelas dapat
dikatakan bahwa tidak ada prinsip-prinsip ketetapan kepuasan kerja yang
mengikat dari padanya.
F.MENINGKATKAN
KEPUASAN KERJA
Ada beberapa
faktor untuk meningkatkan kepuasan kerja :
1. Pekerjaan itu sendiri (Work It self), Setiap pekerjaan memerlukan suatu
keterampilan tertentu sesuai dengan bidang nya masing-masing. Sukar tidaknya
suatu pekerjaan serta perasaan seseorang bahwa keahliannya dibutuhkan dalam
melakukan pekerjaan tersebut, akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan kerja.
Hackman and Lawyer tahun 1975 seperti yang di terjemahkan oleh Muh Shobarudin
(1992), yaitu “Kepuasan kerja akan tercapai jika ada kesesuaian antara
keinginan dari para pekerja dan dimensi inti pekerjaan (five core job
dimensions) yang terdiri dari ragam ketrampilan, identitas pekerjaan,
keberartian pekerjaan, otonomi dan umpan balik.” Semakin besarnya keragaman aktivitas pekerjaan yang
dilakukan, seseorang akan merasa pekerjaannya makin berarti, karena pekerjaan
yang sama sederhana dan berulang menyebabkan karyawan menjadi bosan.
2. Atasan(Supervision), Dari pendapat Hasley, dapat disimpulkan
bahwa supervisi adalah suatu usaha untuk memimpin dengan mengarahkan orang lain
sehingga dapat menjalankan tugas dengan baik, serta memberikan hasil yang
maksimum.Atasan yang baik berarti mau menghargai pekerjaan bawahannya. Bagi bawahan,
atasan bisa dianggap sebagai figur ayah/ibu/teman dan sekaligus atasannya.
3. Teman sekerja (Workers)atau Kondisi, Kartono (1985)
mengatakan bahwa “perasaan puas oleh bawahan akan diperoleh apabila bawahan
merasa dihargai oleh atasannya, dilibatkan dalam pemecahan suatu masalah serta
mempunyai kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.” Hal ini berarti pekerjaan
seringkali memberikan kepuasan kebutuhan sosial, tidak hanya dalam arti persahabatan
saja tetapi juga dari segi yang lain seperti kebutuhan untuk dihormati,
berprestasi dan berafiliasi, karena manusia adalah mahluk sosial. Pada dasarnya
seorang karyawan menginginkan adanya perhatian dari atasan maupun dari rekan
kerjanya serta lingkungan kerja yang mendukungnya.
4. Promosi(Promotion),Merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya
kesempatan untuk memperoleh peningkatan karier selama bekerja.
Menurut Flippo (1984), ”a career can be defined a sequence of separate but
related work activities that provides continuity, order and meaning in person’s
life” .Hal ini memiliki nilai karena merupakan bukti pengakuan yang
lain terhadap prestasi kerja yang dicapai.
Promosi
memberikan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi, lebih bertanggung jawab dan
meningkatkan status sosial. Oleh karena itu individu yang merasakan adanya
ketetapan promosi merupakan salah satu kepuasan dari pekerjaannya.
5. Gaji/Upah(Pay), Merupakan salah satu faktor yang dapat
digunakan untuk meningkatkan prestasi kerja, memotivasi, dan kepuasan kerja.
Adapun pengertian imbalan menurut Hadi Poerwoto seperti yang ditulis oleh
Heijrachman (1990) adalah, “jumlah keseluruhan pengganti jasa yang telah
dilakukan oleh tenaga kerja yang meliputi gaji / upah pokok dan tunjangan sosial
lainnya”. Pada beberapa studi yang telah dilakukan diketahui bahwa imbalan
merupakan karakteristik pekerjaan yang menjadi ukuran ada tidaknya kepuasan
kerja, dimana penyebab utamanya adalah ketidakadilan dalam pemberian imbalan
tersebut. Ada 2 macam imbalan yaitu:
1. Imbalan intrinsik, yaitu imbalan yang diperoleh karena
adanya pengakuan dan penghargaan.
2. Imbalan ekstrinsik, yaitu imbalan yang diperoleh karena
adanya promosi, upah dan gaji.